Cara Berbahagia Tanpa Kepala (Resensi Buku)


#ResensiBukuJanuari

CARA BERBAHAGIA TANPA KEPALA

Penulis: Triskaidekaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Mei 2019 (cetakan pertama)
Resensi oleh @haikal_rz 

Triskaidekaman dan kepalanya masih betah tinggal di Jakarta. Beberapa hal yang membuatnya bahagia adalah angka 13, Formula 1, boneka dan buku-buku. Selebihnya belum diketahui.

Bahwa membuat keputusan sewaktu sedih lebih berbahaya daripada meminum air mineral yang tercampur air got

Novel Cara Berbahagia Tanpa Kepala bercerita tentang seorang pemuda. Sempati namanya. Sempati merasa kepalanya tak memberi solusi atas ragam persoalan. Kepalanya justru merepotkan, hingga membuatnya mengikuti program ‘Bebaskan Kepalamu’-yang memungkinkan untuk menceraikan sementara kepalanya. Tanpa diduga kepala itu menghilang. Bahagiakah Sempati hidup tanpa kepala?
Novel ini terdiri dari lima bagian (bab). Di beberapa bagian kita akan dibuat “melongo” dengan beberapa hal yang tidak rasional; bagaimana seseorang masih hidup tanpa kepala, bagaimana jakun bisa memiliki ritsleting. Terdengar menyeramkan dan juga absurd.

Rasa-rasanya di awal membaca terasa berat (rumit), baik dari segi alurnya, pemilihan diksi dan gaya bercerita sang penulis. Tetapi, tanpa disadari ternyata kerumitan-kerumitan tersebut malah membuat candu untuk terus menerka-nerka apa yang terjadi setelahnya. Pembaca akan dibawa ke dunia yang akan sedikit berbeda.

Menuju halaman-halaman selanjutnya kita baru disadarkan bahwasanya sang penulis ‘sepertinya’ sengaja memberikan benang-benang yang kusut. Kemudian kita diajak untuk merangkai semuanya ketika tiba di bagian tengah menjelang akhir.

Altruisme belaka takkan bisa melawan gilas roda kapitalisme.

Selain kejutan-kejutan yang telah disiapkan. Kekaguman juga hadir dari bagaimana lihainya Triskaidekaman menyelipkan pesan-pesan menggelitik. Kita diajak peka terhadap permasalahan pribadi, permasalahan dalam keluarga dan juga permasalahan sekitar kita-yang biasanya dianggap sepele, padahal berdampak besar di kemudian hari. Penggalan-penggalan kalimat yang “quotable” pun mungkin akan sering ditemui, jika lihai menangkap dalam tulisannya.

Rahasia adalah perusak hubungan manusia. Termasuk hubunganmu dengan ibumu?

‘Terjerembat’ mungkin itu kata yang cocok untuk mengakhiri novel tersebut. Ada kekaguman tersendiri dengan gaya bercerita dari Triskaidekaman. Bagi yang hendak membaca atau masih ragu kalau novel ini akan terasa ‘berat’ untuk sebuah bacaan, rasanya tidak. Pembaca cukup duduk, nikmati, tidak ada yang perlu “melepaskan kepalanya”.

Novel Cara Berbahagia Tanpa Kepala



Komentar